Nama rubella berasal dari bahasa Latin, yang berarti “merah kecil”. Rubella awalnya dianggap sebagai varian campak atau demam berdarah. Baru pada tahun 1814 penyakit ini pertama kali digambarkan sebagai penyakit terpisah dalam literatur medis Jerman, oleh karena itu berkembang istilah “campak Jerman”. Pada tahun 1914, Alfred F. Hess mendalilkan etiologi virus berdasarkan karyanya dengan monyet. Setelah epidemi infeksi rubella yang meluas pada tahun 1940, Norman Gregg, seorang dokter mata Australia, melaporkan pada tahun 1941 terjadinya katarak kongenital di antara bayi yang lahir setelah rubella ibu. Ini adalah pengakuan pertama yang dipublikasikan tentang sindrom rubella kongenital (congenital rubella syndrome/CRS). Virus Rubella pertama kali diisolasi pada tahun 1962 oleh dua kelompok independen, Paul D. Parkman dkk dan Thomas H. Weller dan Franklin A. Neva. Vaksin rubella pertama dilisensikan pada tahun 1969. Pada tahun 1971, vaksin gabungan campak, gondong, dan rubella (MMR) dilisensikan untuk digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, vaksin kombinasi campak, gondong, rubella, dan varisela (MMRV) dilisensikan.
Virus Rubella
Virus Rubella adalah satu-satunya anggota genus Rubivirus, dari keluarga Matonaviridae. Ini adalah virus dengan struktur RNA beruntai tunggal dengan polaritas positif dan memiliki tipe antigenik tunggal.
Patogenesis
Setelah masuk melalui saluran pernapasan, virus bereplikasi di nasofaring dan kelenjar getah bening regional. Pada wanita hamil, infeksi plasenta terjadi selama viremia dan dapat menyebabkan infeksi janin transplasenta. Kerusakan janin terjadi melalui penghancuran sel, serta gangguan pembelahan sel. Infeksi janin sering mengakibatkan infeksi persisten yang biasanya menyebabkan gangguan pendengaran dan kelainan mata dan kardiovaskular.
Gambaran Klinis
Infeksi Rubella
Masa inkubasi rubella rata-rata adalah 14 hari, dengan kisaran 12 hingga 23 hari. Gejala seringkali ringan, dan hingga 50% infeksi mungkin subklinis atau tidak terlihat. Pada anak kecil, ruam pada kulit biasanya merupakan gejala pertama. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, mungkin ada gejala prodromal antara 1 sampai 5 hari pertama meliputi demam ringan, malaise, limfadenopati, dan gejala pernapasan atas sebelum muncul ruam. Limfadenopati dapat dimulai seminggu sebelum ruam dan berlangsung selama beberapa minggu. Ruam rubella bersifat makulopapular dan terjadi 14 hingga 17 hari setelah paparan. Ruam biasanya muncul pertama kali di wajah dan kemudian berkembang dari kepala ke kaki. Hal ini berlangsung sekitar 3 hari dan kadang-kadang ruam juga disertai rasa gatal. Ruam lebih kecil dan lebih samar daripada ruam campak, tidak menyatu, dan seringkali menjadi lebih jelas setelah mandi air panas. Kadang kala kelenjar getah bening di leher, bawah telinga, dan suboksipital juga bisa diserang.
Arthralgia (nyeri sendi) dan arthritis jarang terjadi pada anak-anak dan pria dewasa tetapi sering terjadi pada wanita dewasa. Gejala sendi cenderung terjadi pada waktu yang hampir bersamaan atau segera setelah ruam muncul dan dapat berlangsung hingga 1 bulan. Jari, pergelangan tangan, dan lutut sering terkena. Artritis kronis jarang terjadi. Gejala rubella lainnya termasuk konjungtivitis, testalgia, atau orkitis. Bintik-bintik kecil berwarna merah (Forschheimer spots) dapat ditemukan pada langit-langit lunak tetapi tidak dapat dijadikan patokan untuk menegakkan diagnosa rubella.
Komplikasi
Komplikasi rubella jarang terjadi. Gejala perdarahan dapat terjadi pada sekitar 1 per 3.000 kasus. Manifestasi ini mungkin terjadi sekunder akibat penurunan trombosit dan kerusakan pembuluh darah, dengan purpura trombositopenik sebagai gejala klinis paling umum. Pendarahan gastrointestinal, serebral, atau intrarenal juga dapat terjadi. Efek dapat berlangsung dari hari ke bulan, dan sebagian besar pasien sembuh. Ensefalitis terjadi pada 1 dari 6.000 kasus dan dapat berakibat fatal.
Komplikasi langka tambahan termasuk granuloma pada orang dengan defisiensi imun primer, orkitis, neuritis, dan sindrom lanjut panencephalitis progresif.
Sindrom Rubella Bawaan (Congenital Rubella Syndrome/CRS)
Infeksi virus rubella paling sering terjadi pada awal kehamilan dan dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, dan cacat lahir yang parah pada bayi. Risiko CRS paling tinggi ketika seorang wanita terkena rubella selama 12 minggu pertama masa kehamilan. Infeksi bawaan dengan virus rubella dapat mempengaruhi banyak sistem organ. Sindrom rubella kongenital mencakup konstelasi cacat lahir, seperti tuli, kelainan mata (katarak, glaukoma, retinopati, mikrofthalmia), dan penyakit jantung bawaan. Itulah sebabnya penting sekali untuk memberikan vaksinasi rubella kepada wanita yang berencana hamil dengan tujuan utama untuk mencegah terjadinya sindrom rubella kongenital (congenital rubella syndrome/CRS) pada janin.
Uji Laboratorium
Banyak penyakit ruam dapat meniru infeksi rubella, sehingga diagnosis klinis sendiri tidak dapat diandalkan. Infeksi rubella akut dapat dikonfirmasi dengan tes PCR (polymerase chain reaction) untuk mendeteksi ada tidaknya virus rubella, pemeriksaan serum darah untuk melihat keberadaan antibodi IgM dan/atau peningkatan kadar antibodi IgG spesifik rubella (biasanya pada fase akut dan konvalesen).
Waktu optimal pengumpulan serum untuk deteksi IgM adalah 5 hari setelah timbulnya gejala (demam dan ruam). Jika serum dikumpulkan kurang dari 5 hari setelah onset dan IgM negatif, sampel kedua diperlukan untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkan rubella menggunakan deteksi IgM.
Pada orang dengan infeksi rubella, virus dapat dideteksi pada spesimen hidung, tenggorokan, urin, darah, dan cairan serebrospinal hingga 10 hari setelah onset ruam (idealnya 3 hari). Pada bayi dengan kecurigaan sindrom rubella kongenital, apusan nasofaring dan/atau urin harus dikumpulkan sedekat mungkin dengan kelahiran. Jika CRS dikonfirmasi, bayi harus diskrining setiap bulan setelah usia 3 bulan s.d usia 1 tahun sampai diperoleh dua tes negatif berturut-turut
Epidemiologi
Angka Kejadian
Rubella pernah menjadi wabah di seluruh dunia dan sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan khususnya pada anak-anak di negara berkembang.
Inang
Rubella hanya dapat menyerang manusia. Tidak ada inang hewan yang diketahui dan tidak ada bukti penularan melalui hewan. Bayi dengan sindrom rubella kongenital dapat menularkan virus rubella untuk waktu yang lama.
Penularan
Rubella menyebar dari orang ke orang melalui kontak langsung atau droplet yang keluar dari saluran pernapasan orang yang terinfeksi. Rubella dapat ditularkan oleh orang dengan kasus subklinis atau tanpa gejala (hingga 50% dari semua infeksi virus rubella).
Pola Musiman
Kasus rubella tidak memiliki pola musiman dan dapat terjadi sepanjang tahun baik pada cuaca dingin maupun sedang/hangat.
Masa Penularan
Rubella paling menular saat ruam pertama kali muncul, tetapi virus dapat menular dari 7 hari sebelum hingga 7 hari setelah timbulnya ruam.
Bayi dengan sindrom rubella kongenital melepaskan sejumlah besar virus dari sekresi tubuh hingga 1 tahun dan karenanya dapat menularkan rubella kepada orang yang merawat mereka yang rentan terhadap penyakit tersebut.
Vaksin Rubella
Pada tahun 1971, vaksin kombinasi campak, gondong, dan rubella (MMR) dilisensikan untuk digunakan di Amerika Serikat, dan komponen vaksin rubella saat ini (RA27/3) dilisensikan pada tahun 1979. Pada tahun 2005, kombinasi campak, gondong, rubella, dan vaksin varisela (MMRV) dilisensikan.
Vaksin MMR dan MMRV mengandung virus hidup yang dilemahkan. Saat ini vaksin rubella monovalen tidak tersedia di mana-mana. Organisasi kesehatan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) di Amerika Serikat merekomendasikan agar vaksin MMR atau MMRV digunakan ketika salah satu dari komponen individu tersebut diindikasikan.
Karakteristik Vaksin
Vaksin MMR merupakan vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine) yang terdiri atas antigen:
- Virus campak yang berasal dari strain Edmonston yang dilemahkan dan dikultur menggunakan sel embrio ayam
- Virus mumps (gondong) dari strain Jeryl Lynn yang dilemahkan dan dikultur menggunakan sel embrio ayam
- Virus rubella dari galur Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan diperbanyak dalam fibroblas paru diploid manusia WI-38
Sementara vaksin MMRV mengandung virus campak, gondong, dan rubella dengan titer yang sama dan identik dengan vaksin MMR. Titer virus varisela lebih tinggi pada vaksin MMRV daripada vaksin varisela monovalen, masing-masing minimal 9.772 PFU versus 1.350 PFU.
Vaksin MMR dan MMRV tersedia dalam bentuk bubuk liofilisasi (beku kering) dan dilarutkan dengan air steril yang bebas bahan pengawet. Kedua vaksin mengandung gelatin. Vaksin MMR dan MMRV diberikan melalui rute subkutan. Setiap dosis vaksin MMR dan MMRV mengandung neomisin sebagai antibiotik. Kedua vaksin tersebut tidak mengandung ajuvan atau pengawet.
Jadwal dan Penggunaan Vaksinasi
Vaksin MMR atau vaksin MMRV dapat digunakan untuk mencegah penyakit campak, gondong, dan rubella. Vaksin MMR dilisensikan untuk digunakan pada pasien usia 12 bulan atau lebih. Vaksin MMRV dilisensikan untuk digunakan pada pasien usia 12 bulan hingga 12 tahun; Vaksin MMRV tidak boleh diberikan kepada orang yang berusia 13 tahun atau lebih.
Dua dosis vaksin MMR dengan interval antar-dosis minimal 4 minggu (28 hari) direkomendasikan untuk anak usia 12 bulan atau lebih. Dosis 1 vaksin MMR harus diberikan pada usia 12 sampai 15 bulan. Jika sebelumnya anak sudah mendapatkan vaksin campak tunggal, pemberian vaksin MMR diberi jeda waktu minimal 6 bulan dari vaksin campak. Secara teori, dosis 2 vaksin MMR dapat diberikan segera setelah 4 minggu setelah dosis 1, tapi berdasarkan pengamatan sebelumnya terhadap kegagalan beberapa orang untuk membangkitkan respon imun terhadap campak setelah dosis 1, ada beberapa pihak yang merekomendasikan dosis 2 secara rutin diberikan pada usia 4 sampai 6 tahun, sebelum anak memasuki taman kanak-kanak atau kelas satu. Semua siswa yang masuk sekolah harus menerima 2 dosis vaksin MMR (dengan dosis pertama diberikan pada usia 12 bulan atau lebih) sebelum pendaftaran.
Interval minimal antar dosis vaksin MMRV adalah 3 bulan, meskipun bila dosis 2 diberikan 4 minggu setelah dosis 1, maka dapat dianggap valid. Untuk dosis pertama vaksin campak, gondong, rubella, dan varisela pada usia 12 hingga 47 bulan, boleh menggunakan vaksin MMR dan varisela (VAR) yang terpisah atau vaksin kombinasi MMRV. Namun, risiko kejang demam sekitar dua kali lebih tinggi untuk anak-anak yang menerima vaksin MMRV dibandingkan vaksin MMR dan VAR yang terpisah. Dengan mempertimbangkan risiko efek samping yang lebih tinggi pada vaksin MMRV, sebaiknya pada usia 12-47 bulan lebih diprioritaskan menggunakan vaksin MMR dan VAR terpisah daripada MMRV, kecuali jika orang tua atau pengasuh menyatakan preferensi untuk MMRV. Sementara sebaliknya untuk anak usia 48 bulan keatas yang baru vaksinasi MMR dan varisela pertama kali atau anak yang ingin suntik dosis kedua vaksin campak, gondong, rubella, dan varisela di usia berapapun, lebih baik menggunakan vaksin MMRV daripada vaksin MMR dan VAR terpisah.
Vaksinasi Orang Dewasa
Vaksinasi MMR dapat diberikan pada dewasa dengan dosis 2x dimana dosis 1 dan 2 diberi intervak minimal 4 minggu (28 hari). Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan menengah lainnya adalah area berisiko tinggi untuk penularan campak, gondong, dan rubella karena terdapat konsentrasi/populasi orang yang besar. Semua siswa yang memasuki perguruan tinggi, universitas, sekolah teknik dan kejuruan, dan institusi lain untuk pendidikan pasca-sekolah sebaiknya sudah mendapatkan 2 dosis vaksin MMR atau memiliki bukti kekebalan campak, gondong, dan rubella yang dapat diterima sebelum masuk. Di sebagian besar universitas dan perguruan tinggi di Amerika dan Eropa, mereka sudah mulai menerapkan persyaratan vaksin MMR bagi para calon mahasiswa yang hendak menempuh pendidikan di situ. Begitu pula tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan dll berisiko tinggi tertular penyakit rubella dari pasiennya sehingga mereka juga perlu mendapatkan vaksinasi MMR.
Mengingat bahaya rubella terhadap janin bila menyerang bumil, vaksin MMR juga direkomendasikan untuk wanita usia subur yang berniat menikah dan/atau memiliki anak. Vaksin sebaiknya diberikan sebelum pasien hamil dengan dosis terakhir diberikan paling telat 4 minggu (28 hari) sebelum pasien hamil. Pelayanan berkelanjutan untuk memvaksinasi remaja dan wanita usia subur yang rentan dapat mencakup vaksinasi di klinik keluarga berencana dan klinik penyakit menular seksual (PMS), dan sebagai bagian dari perawatan ginekologi rutin. Upaya juga harus dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan hasil serologi pranikah saat tes semacam itu menilai kekebalan rubella (misal dengan pemeriksaan laboraorium TORCH); menekankan vaksinasi untuk mahasiswa; memvaksinasi wanita pascapersalinan; mengimunisasi staf penjara wanita dan, jika memungkinkan, narapidana wanita; dan melaksanakan program vaksinasi di tempat kerja tertentu,
Vaksinasi ulang
Vaksin yang MMR yang diberikan sebelum usia 12 bulan (misalnya, syarat untuk perjalanan internasional) tidak bisa dihitung sebagai bagian dari rangkaian 2 dosis. Anak-anak yang divaksinasi sebelum usia 12 bulan harus divaksinasi ulang dengan 2 dosis vaksin MMR atau MMRV dengan jarak yang tepat, dosis pertama diberikan saat anak berusia 12 hingga 15 bulan (12 bulan jika anak tetap berada di area dengan risiko penyakit tinggi) dan dosis kedua setidaknya 4 minggu kemudian.
Imunitas Rubella
Diagnosis klinis rubella tidak dapat diandalkan dan tidak boleh dipertimbangkan dalam menilai status kekebalan. Karena banyak penyakit ruam yang menyerupai infeksi rubella dan banyak infeksi rubella yang tidak dikenali, satu-satunya bukti yang dapat dipercaya dari infeksi rubella sebelumnya adalah adanya antibodi serum rubella IgG. Laboratorium yang rutin melakukan tes antibodi umumnya paling bisa diandalkan.
Imunogenisitas dan Kemanjuran Vaksin
Setidaknya 95% dari orang berusia 12 bulan atau lebih yang divaksinasi rubella membentuk antibodi terhadap rubella setelah dosis pertama dan lebih dari 90% memiliki perlindungan terhadap rubella klinis selama setidaknya 15 tahun. Studi tindak lanjut menunjukkan bahwa 2 dosis vaksin memberikan perlindungan jangka panjang, mungkin seumur hidup. Tingkat serokonversi serupa untuk vaksin MMR dan MMRV.
Meskipun titer terhadap rubella berkurang pada tahun-tahun setelah vaksinasi, tidak ada bukti bahwa hal ini menyebabkan kerentanan yang signifikan terhadap rubella klinis atau rubella kongenital. Rubella klinis dan kehamilan yang terkena sindrom rubella kongenital sangat jarang terjadi pada orang yang divaksinasi.
Kontraindikasi dan Peringatan untuk Vaksinasi
Seperti vaksin lainnya, riwayat reaksi alergi yang parah (anafilaksis) terhadap komponen vaksin atau mengikuti dosis sebelumnya merupakan kontraindikasi mutlak. Penyakit akut sedang atau berat (dengan atau tanpa demam) pada pasien dianggap sebagai peringatan, meskipun orang dengan penyakit ringan dapat divaksinasi.
Vaksin MMR dan MMRV keduanya mengandung neomisin dan gelatin dalam jumlah kecil. Orang dengan alergi daging/produk hewani mungkin ingin berkonsultasi dengan dokter mereka sebelum menerima vaksin yang mengandung gelatin.
Kondisi imunokompromis berat (misal keganasan, kemoterapi, imunodefisiensi kongenital, terapi imunosupresif jangka panjang atau pasien dengan infeksi HIV yang sangat rentan) merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi MMR dan MMRV. Jika tingkat imunokompetensi seseorang tidak pasti, disarankan untuk meminta surat rujukan/rekomendasi dari dokter/medis yang selama ini merawat pasien untuk mengetahui boleh/tidaknya pasien divaksinasi. Pasien yang belum menerima kemoterapi selama minimal 3 bulan, yang penyakitnya masih dalam remisi, dan yang imunokompetensinya pulih, dapat menerima vaksin MMR atau MMRV. Begitu pula keluarga, teman, dan kontak dekat pasien lainnya yang rentan juga sebaiknya divaksinasi.
Orang yang menerima terapi kortikosteroid dosis tinggi secara sistemik (2 mg per kg berat badan atau lebih per hari atau 20 miligram atau lebih prednison per hari) selama 14 hari atau lebih tidak boleh menerima vaksin MMR atau MMRV karena kekhawatiran tentang keamanan vaksin. MMR atau MMRV tidak boleh diberikan selama minimal 1 bulan setelah penghentian terapi kortikosteroid dosis tinggi. Meskipun orang yang menerima kortikosteroid sistemik dosis tinggi (baik setiap hari maupun beberapa hari sekali) selama kurang dari 14 hari secara teori boleh divaksinasi MMR atau MMRV segera setelah penghentian pengobatan, namun beberapa ahli lebih suka menunggu hingga 2 minggu setelah menyelesaikan terapi.
Data yang tersedia menunjukkan bahwa vaksinasi dengan MMR tidak mengakibatkan reaksi berat pada orang yang terinfeksi HIV yang tidak mengalami imunosupresi berat, meskipun respons antibodi bervariasi. Vaksin MMR direkomendasikan untuk orang yang rentan terinfeksi HIV berusia 12 bulan atau lebih tanpa bukti imunosupresi berat saat ini (CD4 lebih besar dari atau sama dengan 15% selama 6 bulan atau lebih untuk orang usia 5 tahun atau lebih muda; dan persentase CD4 lebih besar dari atau sama dengan 15% dan jumlah CD4 lebih besar dari atau sama dengan 200 sel/mm3 selama 6 bulan atau lebih untuk orang yang lebih tua dari usia 5 tahun). Vaksin MMR tidak dianjurkan untuk penderita HIV/AIDS dengan bukti imunosupresi berat. Sebaliknya MMRV tidak disetujui dan tidak boleh diberikan kepada orang yang diketahui terinfeksi HIV.
Riwayat keluarga dengan imunodefisiensi kongenital atau herediter pada kerabat tingkat pertama (misalnya, orang tua dan saudara kandung) merupakan kontraindikasi untuk vaksin MMR atau MMRV, kecuali daya tahan tubuh penerima vaksin telah dibuktikan secara klinis atau diverifikasi oleh laboratorium.
Adanya riwayat purpura trombositopenik atau trombositopenia merupakan peringatan pemberian vaksin MMR dan MMRV. Orang tersebut mungkin berisiko tinggi mengalami trombositopenia setelah vaksinasi MMR atau MMRV.
Penerimaan obat antivirus tertentu (misalnya, asiklovir, famciclovir, atau valacyclovir) 24 jam sebelum vaksinasi merupakan peringatan untuk vaksin MMRV karena komponen varisela. Obat ini harus dihindari selama 14 hari setelah vaksinasi.
Konsumsi aspirin juga dianggap peringatan untuk vaksin MMRV karena komponen varisela. Perusahaan farmasi merekomendasikan agar penerima vaksin menghindari penggunaan salisilat seperti aspirin selama 6 minggu setelah menerima vaksin MMRV karena hubungan antara penggunaan aspirin dan sindrom Reye setelah cacar air.
Riwayat kejang pribadi atau keluarga (yaitu, saudara kandung atau orang tua) dengan etiologi apa pun merupakan peringatan untuk vaksin MMRV tetapi tidak untuk MMR. Anak-anak dengan riwayat kejang pribadi atau keluarga dari etiologi apa pun idealnya harus divaksinasi dengan vaksin MMR dan VAR yang terpisah karena risiko kejang demam akibat penggunaan vaksin MMRV pada kelompok anak ini umumnya lebih besar daripada vaksin monovalen.
Vaksin MMR dapat diberikan kepada orang yang alergi telur tanpa tes kulit rutin sebelumnya atau penggunaan protokol khusus.
Pertimbangan Spasi
Efek pemberian produk darah yang mengandung antibodi (misalnya, imunoglobulin, darah lengkap atau sel darah merah, atau imunoglobulin intravena) terhadap vaksin MMR atau MMRV tidak diketahui. Karena potensi penghambatan respons terhadap vaksinasi oleh antibodi yang ditransfer secara pasif, baik vaksin MMR maupun vaksin MMRV (atau vaksin VAR) tidak boleh diberikan selama 3 hingga 11 bulan setelah menerima produk darah yang mengandung antibodi. Interval antara produk darah yang mengandung antibodi dan vaksin MMR atau MMRV ditentukan oleh jenis produk yang diberikan. Sebaliknya, produk yang mengandung antibodi sebaiknya tidak diberikan selama 2 minggu setelah vaksinasi MMR atau MMRV kecuali dalam kondisi darurat. Dalam beberapa kasus, jika pasien menerima transfusi produk darah yang mengandung antibodi kurang dari 2 minggu pasca vaksinasi MMR atau MMRV, disarankan mengulang kembali vaksinasi setelah 3-11 bulan pasca transfusi atau dilakukan cek serologi untuk menentukan kadar imunoglobulin yang terbentuk setelah vaksinasi, jika hasil serologi negatif sebaiknya vaksinasi diulang kembali.
Uji kulit tuberculin (Mantoux test) atau uji interferon-gamma release assay (IGRA) merupakan peringatan untuk vaksin MMR dan MMRV. Vaksin campak (dan kemungkinan vaksin MMR) dapat menekan respons terhadap tes kulit tuberkulin (TST) secara temporer pada orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. TST dan vaksin MMR dapat diberikan pada kunjungan yang sama jika diperlukan. Pemberian TST dan vaksin yang mengandung campak secara bersamaan tidak mengganggu pembacaan hasil TST setelah 48 hingga 72 jam. Jika vaksin MMR telah diberikan baru-baru ini, skrining TST harus ditunda setidaknya 4 minggu setelah vaksinasi.
Penerimaan obat antivirus tertentu (misalnya, asiklovir, famciclovir, atau valacyclovir) 24 jam sebelum vaksinasi juga merupakan peringatan untuk vaksin MMRV karena komponen varisela. Obat ini harus dihindari selama 14 hari setelah vaksinasi.
Vaksinasi pada Kehamilan
Kehamilan merupakan kontraindikasi mutlak pemberian vaksin MMR atau MMRV. Kehamilan harus dihindari selama 4 minggu setelah vaksin MMR atau MMRV. Kontak dekat dengan wanita hamil bukan merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi MMR atau MMRV pada kontak tersebut.
Jika seorang wanita hamil secara tidak sengaja menerima vaksin MMR atau MMRV, penghentian kehamilan tidak dianjurkan karena risiko terhadap janin tampaknya sangat rendah. Data dari 321 wanita rentan yang menerima vaksin rubella tidak menunjukkan bukti sindrom rubella kongenital pada keturunannya. Studi yang dilakukan di enam negara Amerika Latin menunjukkan risiko rubella kongenital yang sangat rendah atau tidak ada setelah pemberian vaksin rubella sesaat sebelum atau selama kehamilan. Dari 1.980 wanita hamil rentan yang diikuti, 70 (3,6%) bayi mengalami infeksi rubella selama kehamilan, tetapi tidak ada satu bayi pun yang memiliki kelainan kongenital terkait infeksi tersebut.
Keamanan Vaksin
Penelitian telah menunjukkan vaksin MMR dan MMRV secara keseluruhan aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Sebagian besar efek samping yang dilaporkan setelah vaksinasi MMR (seperti demam dan ruam) disebabkan oleh komponen campak. Setelah vaksinasi MMR, 5% hingga 15% orang yang rentan mengalami suhu 103°F (39,4°C) atau lebih tinggi, biasanya terjadi 7 hingga 12 hari setelah vaksinasi dan umumnya berlangsung selama 1 atau 2 hari. Kebanyakan orang yang demam tidak memiliki gejala lain. Vaksin MMR dikaitkan dengan risiko kejang demam yang sangat kecil; kira-kira satu kasus untuk setiap 3.000 hingga 4.000 dosis vaksin MMR yang diberikan. Kejang demam biasanya terjadi 6 sampai 14 hari setelah vaksinasi dan tampaknya menimbulkan gejala sisa jangka panjang. Anak-anak dengan riwayat kejang demam pribadi atau keluarga atau riwayat epilepsi keluarga mungkin berisiko lebih tinggi untuk kejang demam setelah vaksinasi MMR.
Reaksi alergi setelah pemberian vaksin MMR jarang terjadi. Sebagian besar adalah alergi ringan seperti gatal atau kemerahan di lokasi suntikan. Reaksi anafilaktik segera terhadap vaksin MMR terjadi pada 1,8 hingga 14,4 kasus per juta dosis.
Arthralgia dan gejala sendi lainnya dilaporkan pada 25% wanita dewasa setelah vaksin MMR dan berhubungan dengan komponen rubella. Limfadenopati transien terkadang terjadi setelah menerima MMR atau vaksin lain yang mengandung rubella, dan parotitis jarang dilaporkan (kurang dari 1%) setelah menerima MMR atau vaksin lain yang mengandung gondong.
Jarang, vaksin MMR dapat menyebabkan trombositopenia dalam waktu dua bulan setelah vaksinasi. Perjalanan klinis dari kasus-kasus ini biasanya bersifat sementara dan tidak berbahaya, walaupun perdarahan jarang terjadi. Berdasarkan laporan kasus, risiko trombositopenia terkait vaksin MMR mungkin lebih tinggi pada orang yang sebelumnya memiliki purpura trombositopenik imun, terutama pada mereka yang mengalami purpura trombositopenik setelah dosis vaksin MMR sebelumnya.
Ensefalitis telah didokumentasikan setelah vaksinasi campak pada orang dengan defisiensi imun. Penyakit ini juga diketahui bisa terjadi dalam waktu 1 tahun setelah infeksi alami dengan virus campak tipe liar dan memiliki tingkat kematian yang tinggi. Dalam kasus dimana ensefalitis disebabkan oleh vaksinasi MMR, waktu dari vaksinasi hingga munculnya gejala ensefalitis berkisar antara 4-9 bulan, konsisten dengan infeksi alami.
Dalam studi vaksin MMRV yang dilakukan pada anak usia 12 hingga 23 bulan, demam (39°C) terjadi antara 5 hingga 12 hari setelah vaksinasi pada 21,5% penerima vaksin MMRV dibandingkan dengan 14,9% % penerima vaksin MMR dan vaksin VAR. Dua studi lainnya pada 2.300-2.600 anak usia 12-23 bulan ditemukan satu kasus kejang demam yang terjadi antara 5 hingga 12 hari setelah dosis pertama vaksin MMRV, dibandingkan dengan anak yang telah menerima dosis pertama vaksin MMR dan vaksin VAR yang diberikan secara terpisah. Data dari studi pascalisensi tidak menunjukkan bahwa peningkatan risiko ini terjadi pada anak usia 4 hingga 6 tahun yang menerima dosis kedua vaksin MMRV. Berbagai penelitian, serta National Academy of Medicine Vaccine Safety Review, menyangkal hubungan kausal antara autisme dan vaksin MMR atau antara penyakit radang usus dan vaksin MMR.